Jumat, 24 Desember 2010

WORK AROUND THE CLOCK

WORK AROUND THE CLOCK!

Pernahkah terlintas untuk mencatat jadual kegiatan seorang ibu rumah tangga mulai bangun tidur hingga bangun lagi esok hari? Setelah 3,5 tahun saya berumah tangga, kami baru mengangkat asisten untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Yaitu saat anak pertama lahir sementara saya sedang menyelesaikan thesis. Jadi selama 3,5 tahun itu semua urusan rumah tangga dikerjakan sendiri, kadang-kadang dibantu suami. Saat hamil anak ketiga, kami kembali tidak mempunyai asisten selama beberapa bulan. Inilah kegiatan saya sehari-hari, mungkin juga sebagian besar ibu rumah tangga lainnya.
Begitu membuka mata, hal pertama adalah mengucap doa bangun tidur. Juga bersyukur atas kemurahan Alloh berupa nikmat sehat dan umur hingga detik ini. Sebelum beranjak dari tempat tidur, si ibu memperhatikan putra-putrinya kalau-kalau ada nyamuk yang menggigitnya. Kemudian merapikan selimutnya, membetulkan posisi tidur anak-anaknya, juga mengganti selimut dan celananya yang basah terkena ompol. Beranjak dari tempat tidur, si ibu membawa selimut, popok dan celana bau pesing untuk dibawa ke kamar mandi, juga membawa gelas-gelas kotor ke dapur. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Khaliqnya, sang ibu siap berjihad sepanjang pagi, siang, sore dan malam hari.
Pertama, membuka jendela, korden dan mematikan lampu luar rumah. Memasak, mencuci alat-alat masak, merapikan dapur, menyiapkan bekal anak ke sekolah, membuat minum untuk suami dan anak-anak dan menyiapkan baju untuk anak-anak. Sambil menunggu air mendidih untuk mandi anak-anak, sang ibu memilah-milah baju untuk dimasukkan ke mesin cuci. Pakaian, selimut juga sarung bantal yang terkena ompol dipisahkan untuk dibersihkan dulu ompolnya dengan air mengalir. Urusan baju untuk sementara selesai, giliran bersih-bersih rumah. Membersihkan meja, kursi, dilanjutkan menyapu dan mengepel.
Urusan rumah selesai, saatnya membangunkan anak-anak. Membangunkan anak-anak tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang sulit sekali dibangunkan. Berbagai jurus harus dikeluarkan. Pertama dengan persuasi, negosiasi dan terakhir sanksi. Hal terberat adalah menaklukkan emosi sendiri agar tidak terpancing untuk marah apalagi membentaknya. Hal yang benar-benar perlu dicamkan dalam pikiran saya adalah bahwa mereka anak-anak, mereka anak-anak, mereka anak-anak. Selama jalan damai bisa dilakukan, mengapa harus dengan kekerasan? Pertama, membangunkan dengan cara standar. Menyampaikan hal-hal yang menyenangkan di sekolah: bertemu teman, bernyanyi, main ayunan, perosotan dan lain-lain. Sambil membujuk, tangan saya membelai rambutnya atau menarik-narik jari kaki dan tangannya, juga menggelitiknya. Bila belum mau bangkit dan malah merengek, kini butuh bernegosiasi. Misalnya, boleh bawa mainan ke kamar mandi, boleh memilih jajan sendiri untuk tambahan bekal ke sekolah. Juga dijelaskan akibat terlambat bangun. Belum mempan juga, saatnya nada suara ditinggikan, belaian dihentikan dan sanksi dikeluarkan. Misalnya, kalau tidak segera bangun dan sampai terlambat ke sekolah, saat akhir pekan tidak diajak jalan-jalan. Dia akan berpikir kalau sampai tidak diajak jalan-jalan, akan kehilangan kesempatan untuk melihat ini itu atau mendapatkan ini itu. Sungguh kelegaan luar biasa saat berhasil ‘menaklukkannya’ dan dia mau menuju kamar mandi.
Acara mandi selesai, giliran memakaikan baju dan ‘mendandaninya’. Setelah keduanya rapi, saya menyuapi mereka biar cepat selesai makannya. Si sulung biasanya berangkat sekolah bareng bapaknya, sekalian berangkat ke kantor. Tetapi kadang-kadang tidak mau diantar sekolah sama bapaknya, jadi saya juga yang mengantar. ‘Berempat’ (saya, dua anak saya dan janin yang masih dalam kandungan) naik sepeda motor ke sekolah yang berjarak sekitar 2 km.
Untuk menghemat energi saya dan BBM (Bahan Bakar Minyak), saya tidak pulang lagi, tetap di sekolah mulai jam 7.30 hingga si sulung pulang jam 10.00. Saat menunggu saya tidak bisa ‘nyantai’ seperti ibu-ibu pengantar lainnya. Mereka asyik ngobrol, sambil sesekali diselingi acara belanja beragam barang yang ditawarkan pedagang keliling, juga dari kalangan ibu-ibu sendiri yang membawa barang dagangan. Mulai baju, tupper ware, aneka kue & cake hingga berlian. Mereka juga membentuk kelompok arisan. Selama 2,5 jam menunggu itu saya berjibaku dengan anak nomer dua yang sedang gesit-gesitnya (usia dua tahun). Di halaman sekolah banyak mainan, dan semua ingin dicobanya. Dia harus didampingi untuk main perosotan, ayunan, jungkat-jungkit, memanjat tambang, masuk terowongan dan lain-lain. Lelah mengikuti langkahnya, dia saya ajak duduk membaca buku cerita yang disiapkan dari rumah sambil minum dan makan biskuit kesukaannya. Dalam kondisi hamil tujuh bulan, kegiatan ini amat melelahkan. Hanya rasa cinta yang begitu besar yang membuat kita kuat menjalaninya. Benar kata Socrates (filsuf Yunani), bahwa hanya cinta yang membuat orang berani mati. Ya, rasa cinta seorang ibu pada anaknya yang membuat ia kuat dan tegar dalam kondisi apa pun, bahkan rela melakukan apa saja demi kebaikan anaknya.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, waktunya menyiapkan energi ekstra untuk berdiplomasi saat anak-anak minta dibelikan jajan atau mainan. Permintaan mereka tidak selalu saya turuti, biar mereka tidak manja dan belajar bahwa dalam hidup ini segala sesuatu tidak mudah diraih. Dan setiap keinginan tidak selalu menjadi kenyataan dalam sekejap, semua butuh proses dan usaha untuk meraihnya. Ini juga mengajarkan agar mereka tidak mudah putus asa atau frustasi bila gagal mendapatkan yang diinginkan. Pada saatnya nanti biar mereka memahami bahwa gagal dan berhasil, kalah dan menang, sedih dan gembira, puas dan kecewa adalah warna-warni hidup yang harus dihadapi dengan sikap terbaik sesuai tuntunan Alloh dan Rasulnya. Saat berhasil tidak menepuk dada, saat gagal tidak berputus asa.
Sesampai di rumah, mengganti baju sekolah dengan baju untuk bermain. Mengantar mereka ke kamar mandi untuk pipis, cuci tangan, cuci kaki dan cuci muka biar bersih dan segar. Setelah keduanya nyaman, saya membuka tas sekolah dan membongkar bekalnya. Biasanya bekal makanan ke sekolah tidak habis dan dilanjutkan dimakan di rumah bersama sang adik. Sebagai makanan tambahan, sepulang sekolah mereka juga minum susu dan biskuit, selain ‘sisa’ bekal sekolah tadi.
Saya bisa rileks sebentar saat menemaninya bermain sambil belajar hingga tiba waktu makan siang. Saat mendampinginya bermain saya bisa membaca koran meski kadang cuma bisa membaca judul beritanya saja. Anak-anak nimbrung ‘ikut membaca’ koran. Biasanya minta diceritai tentang gambar yang dia lihat, khususnya karikatur. Mereka antusias bertanya tentang maksud gambar itu. Perlu improvisasi saat yang dia liat adalah ilustrasi dari rubrik konsultasi kesehatan yang sedang saya baca. Tidak mungkin saya menjelaskan sesuai dengan maksud gambar itu sebenarnya. Anak-anak juga tertarik dengan judul-judul berita yang besar. Dari sini, mereka mulai mengenal huruf dan belajar membaca. Alhamdulilah, sekali mendayung tiga pulau terjelajahi. Saya bisa mengupdate isu-isu yang berkembang, anak-anak belajar membaca dan kedekatan fisik dan emosional antara ibu dan anak tercipta. Namun acara bermain sambil belajar ini sering diwarnai keributan-keributan kecil. Masing-masing mungkin mencari perhatian lebih dari ibunya. Si sulung menunjuk sebuah judul berita, minta dibacakan. Sang adik menunjuk judul berita yang lain yang minta dibacakan lebih dulu. Sang kakak tidak mau mengalah. Ada saja yang menjadi sumber keributan di antara anak-anak. Setelah saya membaca sebuah artikel psikologi di sebuah majalah, ternyata ini disebut sibling rivalry. Yaitu permusuhan dan kecemburuan antara saudara kandung. Ini biasa terjadi dalam satu keluarga yang memiliki lebih dari satu anak. Meski demikian, anak-anak tetap harus diberi pengertian dan aturan-aturan untuk meminimalisir pertengkaran.
Saat tiba waktu makan siang, saya menyuapi anak nomer dua. Sementara si sulung belajar makan sendiri. Setelah itu sholat dhuhur berjamaah, kemudian mengeloninya untuk tidur siang. Sementara anak-anak tidur, banyak pekerjaan yang harus ditangani. Mengangkat jemuran, memilah-milah baju yang perlu disetrika dan baju mana yang cukup dilipat saja. Setelah rapi, saya menatanya ke ‘alamat’ masing-masing. Saya tidak menyeterika tiap hari, cukup seminggu tiga kali. Urusan baju selesai, giliran masak untuk makan malam. Saat anak-anak tidur, pekerjaan rumah harus dikerjakan dengan maximum speed alias secepat mungkin biar banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan. Harus dibuat skala prioritas, mana pekerjaan yang bisa dikerjakan sambil momong dan mana yang tidak. Saat anak tidur, saya kerjakan dulu pekerjaan yang tidak bisa disambi momong, seperti masak dan setrika. Beres-beres rumah masih bisa disambi, jadi dikerjakan belakangan. Bila anak-anak belum bangun, dilanjutkan dengan menyapu, mengepel dan menyiram bunga.
Begitu anak-anak bangun sekitar jam 16.00, stop kegiatan beres-beres. Saatnya menyambut anak-anak dengan membacakan doa bangun tidur, mengusap rambutnya, memeluknya dan mengucapkan “Ibu sayang mbak, Ibu sayang adik”. Anak-anak akan terbiasa mengungkapkan perasaannya bila kita biasa mengucapkannya. Dari mana anak-anak tahu cara mengekpresikan perasaanya bila tidak ada contoh lebih dulu dari kita? Saya selalu terharu luar biasa bila anak-anak bangun tidur lebih awal dan tiba-tiba ada di belakang saya yang sedang seterika sambil mengucapkan “Mbak sayang ibu.” Si kecil tidak mau kalah, juga mengucapkan: “Adik sayang ibu.” Hanya tiga kata, namun punya efek dahsyat bagi saya. Rasa lelah sepanjang pagi, siang dan sore sontak hilang. Berganti semangat dan semangat. Tiga kata itu bagai suplemen multivitamin yang ampuh. Tiga kata itu bagai gerimis kala senja yang menyirami bunga-bunga, terasa sejuk dan menenteramkan. Bagai embun pagi yang meluruhkan debu-debu pada dedaunan di taman.
Sambil menunggu air direbus untuk mandi sore, anak-anak boleh melihat film kartun di televisi sejenak, cukup sepuluh menit. Memandikan mereka berdua secara bergantian cukup menguras energi. Acara mandi sambil main air adalah momen mengasyikkan baginya. Sang kakak masih ingin main air, sementara sang adik sudah kebelet mau mandi juga. Hasilnya? Seru! Kembali jurus persuasi dan negosiasi dilancarkan, akhirnya urusan mandi sore beres. Tidak jarang, untuk keluar dari kamar mandi si kecil masih minta gendong. Begitu anak-anak sudah rapi dan wangi, giliran saya yang mandi dengan tetap memonitornya. Untung ada satu kamar mandi yang dekat ruang tamu, tempat anak-anak bermain building block. Sengaja saya pilihkan mainan itu biar masing-masing konsentrasi membuat aneka bentuk sesuai imajinasinya. Mainan ini akhirnya menjadi mainan favoritnya. Dari kamar mandi sesekali saya menengoknya, memastikan mereka berdua baik-baik saja. Bisa dibayangkan, bila dua anak balita main bareng tanpa pendamping, hal-hal tak terduga bisa saja terjadi.
Selesai mandi, waktunya sholat ashar bersama-sama. Meski persiapan sholatnya lebih lama daripada sholatnya, tidaklah mengapa. Yang penting, anak-anak mulai mengenal sholat. Mereka ikut sholat paling lama hanya sampai dua rakaat, setelah itu main-main, tepatnya mengganggu ibunya. Mula-mula, telentang di sajadah saya, berebut naik ke punggung saat sujud, juga memegang jari telunjuk saat duduk takhiyat akhir. Duh! Ada rasa kesal, tapi juga nikmat luar biasa yang sulit terlukis dengan kata. Bila tidak menyadari dunia anak-anak adalah dunia bermain juga dunia eksplorasi, emosilah yang bicara. Meski begitu, selesai sholat mereka tetap diberi pengertian bahwa kalau ibu sholat sebaiknya tidak mengganggu. Anak-anak senang bila diajak melipat mukena, sarung dan sajadah mereka. Sambil diberi pengertian bahwa segala sesuatu akan indah kalau terlihat rapi.
Menjelang jam lima sore adalah waktu makan bagi mereka. Saya menyuapinya di teras sambil melihat ikan berenang di kolam mini di halaman. Mereka lahap makannya bila sambil diajak ngobrol tentang apa saja yang mereka lihat. Sore hari saatnya burung-burung terbang membentuk barisan pulang ke sarangnya. Capung dan kupu-kupu juga ikut meramaikan suasana sore. Di sore yang cerah, langit Denpasar pada bulan Juni – September dihiasi banyak layang-layang indah dengan aneka bentuk. Ada bentuk kupu-kupu, ikan, burung bangau, orang dan lain-lain. Masyarakat Bali memang punya jiwa seni tinggi, layang-layang pun dibuat dengan sentuhan seni yang indah. Beda jauh dengan layang-layang yang pernah saya lihat di kampung saat kecil dulu, sebuah desa di Jawa Timur. Hanya berbentuk segi empat seperti ikan pari, itu saja. Kami saling bercerita di teras hingga suami pulang kerja. Saat suami dating dengan sepeda motornya, anak-anak seperti dikomando langsung teriak bareng, “Bapaaak,” sambil berlarian ke pintu pagar. Mereka seperti tidak sabar menunggu saya membukakan pintu pagar. Saya selalu terharu melihat pertemuan bapak-anak yang seharian tidak bertemu. Setelah bersalaman, kami masuk rumah, sementara di luar matahari menuju peraduannya. Segelas minuman segar saya siapkan untuk suami. Kata orang, rumah adalah pelabuhan. Dunia luar rumah adalah samudra dengan riak gelombangnya tempat para bapak mengais rizqi. Saat kapal berlabuh, sebisa mungkin diusahakan kondisi pelabuhan bersih, rapi dan menyenangkan.
Setelah berhai-hai sebentar, makan camilan dan minum, suami mandi. Setelah itu berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat magrib. Saya dan anak-anak kembali sholat magrib bersama-sama, tetap dengan keriuhan khas anak-anak. Dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an, anak-anak ‘menyimak.’ Ada si adik duduk di pangkuan, si kakak tiduran dengan menyandarkan kepalanya dipaha. Sungguh nikmat tak terkira meniti detik demi detik bersama bibir-bibir mungil dan mata bening itu. Apalagi bila dalam tiap kesempatan bisa menanamkan nilai-nilai ruhiyah pada mereka. Bila anak-anak bersikap manis, kami tidak beranjak dari tempat sholat hingga waktu sholat isya’ tiba. Sambil menunggu sholat isya, anak-anak belajar menghafal surat-surat pendek, seperti Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq dan yang pasti Al-Fatihah.
Selepas sholat isya’, anak-anak membuka-buka buku cerita atau buku kreativitas, sementara saya menata hidangan untuk makan malam. Anak-anak biasanya ikut nimbrung makan bersama bapaknya, minta satu atau dua suap. Sambil makan, suami ‘melepas kangen’ bersama anak-anak. Mereka bertiga makan sambil ngobrol tentang apa saja yang dialami anak-anak hari itu. Saya menyiapkan susu untuk anak-anak juga menyiapkan buah sebagai pencuci mulut. Setelah suami, giliran saya yang makan, dilanjutkan dengan membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan.
Bila waktu telah menunjukkan pukul 20.00, saatnya mengganti baju anak-anak dengan baju tidur. Sebelum itu, mereka ke kamar mandi dulu untuk pipis, cuci tangan, cuci kaki , cuci muka, juga gosok gigi (kalau pas mau). ‘Ritual’ ini pun tidak selalu berjalan mulus. Kadang si sulung tidak mau baju yang sudah disiapkan, dan mengambil sendiri di lemari. Tumpukan baju jadi ‘amburadul.’ Sang adik mengikuti sang kakak, tidak mau memakai baju yang sudah disiapkan, dan mengambil sendiri. Kali ini lebih amburadul lagi. Yang diambil baju di tumpukan paling bawah, akibatnya baju-baju yang diatasnya berhamburan semua. Sedap! So what? Yang paling enak segera mengucap La haula wala quwwata illaa billaah…..
Setelah rapi dengan baju tidurnya, waktunya mengajak ke tempat tidur yang sudah disiapkan ‘kavlingnya.’ Sebelum tidur, seperti kebanyakan keluarga lainnya, anak-anak dibacakan cerita, lebih sering mendongeng hasil improvisasi sendiri. Tema dongengnya sesuai dengan kejadian hari itu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Yang tidak menyenangkan, misalnya mereka berdua bertengkar rebutan mainan atau jajan. Yang menyenangkan, mereka mau berbagi dan rukun saat main bersama. Dari dongeng ini, anak-anak, khususnya sang kakak bisa mengambil teladan dan tanpa saya ungkit kejadian-kejadian pada hari itu, sang kakak sudah ‘merasa’ dengan sendirinya. Tanpa diminta, dia sudah membuat ‘pengakuan dosa.’ Saya tinggal menggarisbawahi saja tentang perilaku yang baik dan tidak, juga akibat dari perilaku itu. Saat mendongeng, kedua tangan saya aktif memijit, menggaruk-nggaruk dan mencubit-cubit punggungnya dengan pelan, memutar-mutar jarinya dan kadang mereka minta ‘diupil’ hidungnya (maaf). Setelah cukup mendongengnya, saatnya membaca doa sebelum tidur dan beberapa surat Al-Qur’an yang pendek.
Saat mereka sudah terlelap, sebisa mungkin saya sempatkan membaca. Kadang koran pagi baru terbaca malam hari bila anak-anak siang itu ‘suka menyanyi’ (baca: rewel). Saat bagian percetakan koran langganan ini sibuk menyiapkan koran edisi esok hari, koran edisi hari ini baru bisa dinikmati. Kadang-kadang saya bangun lagi untuk menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak esoknya bila siang tadi tidak sempat menyiapkannya, biar besok pagi tidak terlalu repot. Misalnya mengupas bawang merah, bawang putih, memotong sayuran dan lain-lain. Persiapan masak untuk sarapan dan makan siang esok hari juga sering dilakukan saat anak-anak tidur siang. Sekalian sambil menunggu masakan untuk makan malam matang, saya menyiapkan bahan-bahan masakan untuk sarapan dan makan siang esok hari. Bila bahan-bahan masakan esok hari sudah disiapkan, rasanya baru lega dan bisa memejamkan mata tanpa ganjalan. Bila tidak, tidur rasanya tidak tenang, karena ada sesuatu yang belum ditunaikan. Saat mata terpejam pun, pikiran masih aktif merancang kegiatan esok hari.
Beberapa jam terlelap, harus terbangun lagi saat anak-anak ada yang mengigau atau ngompol. Bila ngompol, celana dan baju harus diganti, juga selimutnya yang terkena ompol. Setelah anak ketiga lahir, makin kurang bisa menikmati jam tidur di malam hari. Si bungsu yang masih bayi otomatis lebih sering pipis dan buang air besar di malam hari. Si bungsu harus meminum ASI paling tidak tiap dua jam sekali. Secara bergantian, ketiganya membutuhkan perhatian hingga fajar tiba. Saatnya bangun lagi untuk memulai aktivitas sepanjang pagi, siang, sore dan malam hari. Begitu seterusnya.
Seorang ibu bekerja sepanjang jarum jam berputar. Tidak ada cuti, libur atau jam istirahat. Harus terus siaga kapan saja anak-anak membutuhkan. Saya jadi teringat saat masih bekerja sebagai ‘orang kantoran’ dulu. Untuk ‘gagah-gagahan,’ saya tulis di meja kerja: I’m gonna work around the clock! Padahal saat itu jam kerja hanya delapan jam saja: jam 08.00-17.00, dengan waktu istirahat satu jam. Jadi, ketahuan kan, kalau yang saya tulis itu cuma untuk bergaya! Sepuluh tahun kemudian, apa yang saya tulis itu menjadi kenyataan. Setelah menjadi ibu dari tiga balita saya benar-benar work around the clock!
Betapa membosankan dan melelahkan bila dalam melakukan rutinitas itu tidak didasari motivasi yang benar. Motivasi bahwa segala yang dilakukan tidak akan sia-sia bila semuanya dilakukan dalam konteks ibadah. Untuk mencapai itu, perlu bekal pengetahuan dan pemahaman ajaran agama yang baik. Jadi, tidak akan ada keluh kesah meski harus work around the clock!

Halaman sekolah anakku, sebuah TK Islam di Denpasar
10 April 2008

1 komentar: