Kamis, 16 September 2010

ROMANTIKA BER- PRT

ROMANTIKA PUNYA PRT

Sambil menyusui anak ketiga, iseng-iseng saya menghitung pembantu rumah tangga (PRT) atau mbak-mbak yang pernah bekerja di keluarga kami. Ternyata ada sebelas orang dalam rentang waktu empat tahun. Bermacam karakter, kebiasaan dan perilaku mereka menjadi romantika dan tantangan tersendiri bagi kami. Ada yang super sensitif, super cuek (ndableg, Jawa), pemalas, pintar cari muka, lihai bersilat lidah, tidak jujur dan jorok. Bahkan ada yang agak error alias menclek kata orang Surabaya.
Kami bilang agak error karena si mbak yang usianya hampir 30 tahun ini (sebut saja Wati) ndablegnya bukan main, semau gue, suka ngomong sendiri, doyan tidur dan joroknya masya Alloh. Satu lagi: telmi (telat mikir) berat! Kamar tidurnya semrawut, baju kotor dan baju bersih campur jadi satu. Baju kotornya juga sering berceceran di kamar mandi. Habis makan piringnya juga tergeletak di sembarang tempat—mulai teras hingga kebun di samping rumah. Karena sudah lelah ngomongi saya langsung memungutnya dan membawanya ke dapur. Ada lagi yang bikin ‘gemes.’ Seperti biasa, sehabis sholat isya saya ajak ketiga balita saya masuk kamar. Tanpa ketok pintu (padahal pintu tertutup rapat), Wati langsung masuk kamar, ikut nimbrung dan pengen ngadem katanya. Di kamar ada AC, sementara di ruang tengah hanya ada kipas angin. Wati jarang mau tidur di kamarnya, sering tidur di depan televisi di ruang tengah. Pertama kali dia masuk kamar tidur begitu saja, saya kaget berat dan cuma bisa diam. Besoknya di ulang lagi. Akhirnya saya kasih tahu kalau itu tidak sopan, anak-anak juga terganggu kalau mau tidur ada orang lain. Saat mau tidur adalah prime time bagi saya untuk menjalin kedekatan dan menanamkan budi pekerti melalui dongeng. Pada momen ini juga saya mengajari doa sehari-hari dan menghafal surat-surat Al-Qur’an yang pendek. Wati kerjanya lama banget sebab diselingi melamun, ngomong sendiri dan sambil mendengarkan radio. Kalau menyapu radionya sering ditenteng. Pernah sebelum jam 6 pagi dia menyapu di halaman depan yang tidak luas. Sampai jam 7 dia tidak tampak. Setelah dicari-cari, ternyata dia nongkrong di pos kamling dekat rumah. Duh! Masih banyak kejadian ‘menggemaskan’ yang dilakukan Wati.
Ada juga mbak yang super sensitif. Kalau pekerjaanya kurang beres dan saya kasih tahu, si mbak langsung cemberut berhari-hari, diajak ngomong juga cuek. Ada juga yang ‘unik’, cuma bertahan sehari semalam karena keberatan kalau disuruh sholat. Padahal dia dari Kota Santri, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Timur. Malah ada mbak yang kalau dimintai tolong sepertinya tidak mau. Si mbak ini melengos bila disuruh melakukan suatu pekerjaan, misalnya menguras bak mandi. Jangankan menjawab ‘ya’, melihat saya pun tidak. Kalau sudah begini, tiada hal yang indah selain mengingat bahwa Alloh bersama orang-orang yang sabar.
Dalam hal ini saya senasib dengan tokoh cerpen yang berjudul Pilah Pilih yang dimuat Ummi beberapa tahun lalu. Sama-sama pusing menghadapi PRT yang tidak sesuai harapan. Alangkah sulit mencari PRT yang cocok. Sepupu saya berseloroh: sekarang mencari PRT yang cocok lebih sulit daripada mencari jodoh. Nah lho!

Wininatin Khamimah
kamar depan, SURABAYA

serba canggung

SERBA CANGGUNG
Tokoh di cerbung Cincin benar-benar seperti gambaran diri saya, it’s so me (bahasa gaulnya gue banget gitu lho). Kegundahannya adalah kegundahan saya, kecanggungannya juga kecanggungan saya. Saya seperti tersindir, lalu merasa nelangsa dan bertekad saya harus berbuat sesuatu.
Sejak berhenti bekerja karena mengikuti tugas suami ke daerah, praktis saya jadi ibu rumah tangga, yang hampir 24 jam di rumah. Minggu-minggu pertama saya menikmati betul jadi orang ‘rumahan.’ Segala urusan rumah tangga saya kerjakan sendiri, mulai menguras bak mandi hingga bayar listrik. Satu bulan berlalu sudah. Bulan berikutnya kejenuhan, rasa minder, nelangsa dan menyesal karena ilmu tidak dipraktekkan mulai melanda. Rasa minder mungkin juga rasa iri saat ada teman kuliah dulu muncul di TV atau koran., juga saat melihat orang-orang yang sukses di bidangnya yang seusia dengan saya, bahkan ada yang jauh lebih muda dari saya. Melihat itu semua, benar-benar I’m no one, I’m nothing.
Belum lagi dari segi finansial, biasanya punya gaji sendiri, tetapi sekarang sepenuhnya tergantung pada suami. Karena tidak punya penghasilan sendiri, mau menyisihkan uang belanja untuk membeli buku saya merasa sungkan. Dari situ saya melamar menjadi dosen di beberapa universitas, tetapi tak satu pun yang merespon. Maklum meski ada pengalaman mengajar di sebuah STIE di Jakarta, ijazah saya cuma S1. Pada saat itu mulai berlaku untuk menjadi dosen harus lulusan minimal S2. Untuk bisnis pun, bingung harus bisnis apa, pangsa pasarnya siapa, modalnya dari mana dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sulit dijawab. Semuanya serba canggung.
Di tengah kondisi yang melelahkan batin ini, untunglah ada stasiun TV lokal yang mau mengudara. Sejak bertahun-tahun lalu saya punya rancangan acara kuis di TV. Alhamdulilah, proposal acara kuis disetujui, beberapa bulan kemudian ditayangkan. Karena satu dan lain hal, kerja sama ini berakhir lebih awal. Duh! Profesi pengacara (pengangguran banyak acara) kembali saya jalani. Perasaan minder, bingung harus berbuat apa dan tak berdaya terus berlangsung hingga kelahiran anak ketiga. Hingga saat saya membacakan majalah anak-anak untuk si sulung, saya menemukan halaman yang memuat surat An Najm (78) ayat 39. Dalam ayat ini Alloh SWT berfirman: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Ayat ini seperti membangunkan saya dari tidur panjang dan memaksa saya keluar dari comfort zone yang saya nikmati selama ini dengan dalih demi anak-anak. Mestinya saya bisa terus berkarya tanpa harus meninggalkan anak-anak. Yah, akar masalahnya karena saya kurang kemauan, kurang ulet dan kurang motivasi dalam mengejar mimpi-mimpi saya.
Alhamdulilah, dari satu ayat Al-Qur’an itu saya terpacu untuk terus menggali potensi diri, antara lain menulis, menerjemah dan mengedit buku. Oh Alloh, saya malu. Kenapa dari dulu tidak mau berakrab-akrab dengan firman-firman sucimu yang di dalamnya banyak mutiara-mutiara hikmah untuk kemaslahatan hamba-Mu. Akhirnya, pepatah Arab yang popular benar-benar saya rasakan: Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh dia yang mendapat. Sungguh!

Wininatin Khamimah
Kamar belakang, rumah surabaya