Kamis, 16 September 2010

serba canggung

SERBA CANGGUNG
Tokoh di cerbung Cincin benar-benar seperti gambaran diri saya, it’s so me (bahasa gaulnya gue banget gitu lho). Kegundahannya adalah kegundahan saya, kecanggungannya juga kecanggungan saya. Saya seperti tersindir, lalu merasa nelangsa dan bertekad saya harus berbuat sesuatu.
Sejak berhenti bekerja karena mengikuti tugas suami ke daerah, praktis saya jadi ibu rumah tangga, yang hampir 24 jam di rumah. Minggu-minggu pertama saya menikmati betul jadi orang ‘rumahan.’ Segala urusan rumah tangga saya kerjakan sendiri, mulai menguras bak mandi hingga bayar listrik. Satu bulan berlalu sudah. Bulan berikutnya kejenuhan, rasa minder, nelangsa dan menyesal karena ilmu tidak dipraktekkan mulai melanda. Rasa minder mungkin juga rasa iri saat ada teman kuliah dulu muncul di TV atau koran., juga saat melihat orang-orang yang sukses di bidangnya yang seusia dengan saya, bahkan ada yang jauh lebih muda dari saya. Melihat itu semua, benar-benar I’m no one, I’m nothing.
Belum lagi dari segi finansial, biasanya punya gaji sendiri, tetapi sekarang sepenuhnya tergantung pada suami. Karena tidak punya penghasilan sendiri, mau menyisihkan uang belanja untuk membeli buku saya merasa sungkan. Dari situ saya melamar menjadi dosen di beberapa universitas, tetapi tak satu pun yang merespon. Maklum meski ada pengalaman mengajar di sebuah STIE di Jakarta, ijazah saya cuma S1. Pada saat itu mulai berlaku untuk menjadi dosen harus lulusan minimal S2. Untuk bisnis pun, bingung harus bisnis apa, pangsa pasarnya siapa, modalnya dari mana dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sulit dijawab. Semuanya serba canggung.
Di tengah kondisi yang melelahkan batin ini, untunglah ada stasiun TV lokal yang mau mengudara. Sejak bertahun-tahun lalu saya punya rancangan acara kuis di TV. Alhamdulilah, proposal acara kuis disetujui, beberapa bulan kemudian ditayangkan. Karena satu dan lain hal, kerja sama ini berakhir lebih awal. Duh! Profesi pengacara (pengangguran banyak acara) kembali saya jalani. Perasaan minder, bingung harus berbuat apa dan tak berdaya terus berlangsung hingga kelahiran anak ketiga. Hingga saat saya membacakan majalah anak-anak untuk si sulung, saya menemukan halaman yang memuat surat An Najm (78) ayat 39. Dalam ayat ini Alloh SWT berfirman: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Ayat ini seperti membangunkan saya dari tidur panjang dan memaksa saya keluar dari comfort zone yang saya nikmati selama ini dengan dalih demi anak-anak. Mestinya saya bisa terus berkarya tanpa harus meninggalkan anak-anak. Yah, akar masalahnya karena saya kurang kemauan, kurang ulet dan kurang motivasi dalam mengejar mimpi-mimpi saya.
Alhamdulilah, dari satu ayat Al-Qur’an itu saya terpacu untuk terus menggali potensi diri, antara lain menulis, menerjemah dan mengedit buku. Oh Alloh, saya malu. Kenapa dari dulu tidak mau berakrab-akrab dengan firman-firman sucimu yang di dalamnya banyak mutiara-mutiara hikmah untuk kemaslahatan hamba-Mu. Akhirnya, pepatah Arab yang popular benar-benar saya rasakan: Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh dia yang mendapat. Sungguh!

Wininatin Khamimah
Kamar belakang, rumah surabaya

1 komentar: