Jumat, 24 Desember 2010

kurir ASI

KURIR ASI

Kampanye pemberian Air Susus Ibu (ASI) bagi si buah hati makin gencar. Ini berarti makin banyak kalangan yang peduli dengan manfaat ASI bagi tumbuh kembang anak. Sejak anak pertama saya memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan terus memberikan ASI hingga anak berusia dua tahun. Dalam kondisi hamil pun saya tetap memberikan ASI, jarak kelahiran putra putri kami dua tahun dua bulan. Saat hamil tujuh bulan saya masih memberi ASI untuk sang kakak yang tepat berusia dua tahun. Saya istirahat menyusui selama dua bulan, kemudian sang adik lahir dan aktif memberi ASI lagi. Demikian terus hingga lahir anak ketiga.
Saat anak ketiga berusia tiga bulan, si sulung (4 tahun 8 bulan) sakit tipus dan harus opname. Si sulung ini tidak mau ditunggui siapa pun selain ibunya. Tidak mungkin mengajak si bungsu di rumah sakit (RS) demi kelancaran pemberian ASI, takut tertular penyakit. Akhirnya anak kedua dan ketiga dititipkan di rumah kakak saya di sertai si mbak yang biasa membantu pekerjaan di rumah. Suami kebagian mondar-mandir antara rumah sakit, rumah kakak dan rumah kami sendiri. Suami juga yang mengurus anak nomer dua, 2,5 tahun (si tengah). Selama saya di RS, si tengah ini tidak mau sama siapa pun selain bapaknya. Mulai mandi, pakai baju, makan , main hingga ngeloni saat mau tidur. Suami baru bisa ke rumah sakit bila si tengah tidur. Betapa repotnya kami saat itu, memiliki tiga balita dan ada yang harus dirawat di RS.
Di rumah sakit kegiatan saya hanya mengurus si sulung dan memompa ASI. Bahan bacaan yang saya bawa tidak tersentuh. Ini pertama kalinya dia masuk RS, wajar setiap ada yang datang dia ketakuan, jadi saya harus selalu di dekatnya. Saat dia tidur saya baru bisa leluasa memompa ASI. Kalau dia sedang melek dan tidak ada yang datang, dia bisa ngerti kalau saya memompa ASI untuk adik. Urusan memompa ASI ini sepertinya dikejar deadline. Apalagi bila sudah di SMS: ASI mau habis. Selama di rumah sakit saya tidak leluasa memompa ASI. Maklum, di rumah sakit tak terhitung berapa kali orang yang mengunjungi kamar kami. Mulai dokter, perawat, terapis, petugas kebersihan, penyaji makanan, juga para pembezuk. Saat mereka otomatis saya harus menghentikan kegiatan memompa ASI. Saat pengambil ASI datang, sering ASI yang terkumpul baru 60 cc. Ya ASI sejumlah itulah yang harus dibawa pulang. Akibatnya, tak lama kemudian harus ada yang ngambil ASI lagi.
Karena suami harus sama si tengah, maka yang kebagian mengambil ASI adalah keponakan saya yang laki-laki, kelas satu SMU. Pagi, siang, sore juga malam hari dia ‘berdinas’ untuk mengantar botol kosong dan mengambil ASI. Saking seringnya ke RS, pada hari kedua putri kami opname, petugas parkir tidak lagi menanyakan STNK. Saya salut dengan kesungguhannya menjalankan tugasnya. Hujan deras pun dia tembus demi sebotol ASI. Ya, sebotol ASI adalah penyambung kehidupan bagi si bungsu. Belakangan saya baru tahu, kalau semangat empat limanya itu tidak lepas dari fulus. Rupanya, suami saya sudah memberikan ‘upeti’ untuk keponakan saya ini sebagai imbalan atas jasanya.
Saat mengambil ASI, dia saya goda. Tugasnya menjadi pengantar botol dan pengambil ASI bisa ditulis di daftar riwayat hidupnya kelak, yakni: kurir ASI. Keponakan saya yang ABG (anak baru gede) ini hanya mesam-mesem menanggapi candaan saya. Kurir ASI, profesi langka yang mungkin belum pernah ada secara komersial. Melihat dinamika kehidupan kota besar semacam Jakarta dan seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya ASI, tidak menutup kemungkinan akan ada orang yang menggeluti profesi sebagai kurir ASI. Teras rumah, Kamis, 27 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar