Jumat, 24 Desember 2010

USG Bikin Sengsara

USG BIKIN SENGSARA

Saya mengenal kata USG (ultrasonografi) sejak awal 1990-an. Namun pertama kali memanfaatkan teknologi ini baru pada 2003. Saat hamil anak pertama, sejak usia kehamilan lima bulan saya dan suami sebenarnya ingin melakukan USG untuk mengetahui jenis kelaminnya. Tetapi dokter menyarankan sebaiknya USG dilakukan saat usia kehamilan delapan bulan. Kami sudah tidak sabar. Maklum, menjelang tiga tahun pernikahan kami saya baru hamil.
Usia kehamilan tujuh bulan saya mengalami kontraksi karena terlalu semangat jalan pagi. Dokter menyarankan untuk USG ke laboratorium klinik yang alatnya lebih canggih dan layar monitornya lebih lebar. Sebenarnya setiap periksa juga di USG, namun monitornya kecil. Kami juga ingin mengetahui jenis kelmain sang janin. Sayang, jenis kelmainnya tidak terlihat. Tidak menyerah, usia kehamilan delapan bulan saya minta USG lagi. Namun hasilnya sama: tidak terlihat jenis kelaminnya. Akhirnya, untuk perlengkapan bayi kami memilih warna kuning dan hijau. Sebelumnya kami membayangka akan membeli perlengkapan bayi warna pink atau biru. Ternyata anak pertama kami perempuan.
Sejujurnya, saya kurang semangat melakukan USG pada kehamilan kedua. Khawatir tidak terlihat lagi, kan sayang uangnya. Namun karena alasan ‘keadilan’, biar nanti sama-sama punya foto saat masih dalam kandungan, akhirnya kami minta di USG. Saat kehamilan anak kedua, kami juga melakukan USG dua kali. Hasilnya sama: tidak tampak jenis kelaminnya. Kami juga memilih warna hijau kuning untuk perlengkapan bayi. Setelah lahir, anak kedua kami laki-laki.
Kehamilan anak ketiga saya tetap melakukan USG dengan alasan sama: demi keadilan. Namun hasil USG kali ini sungguh mengagetkan. Menurut dokter radiologi, anak ketiga kami kembar dua. Yang menyedihkan, dari beberapa foto USG disebutkan bahwa ada dua kepala dan satu badan. Betapa kaget dan sedihnya saya waktu itu. Hasil USG saya bawa ke dokter kandungan, beliau juga tampak kaget dan berusaha menenangkan saya. Beliau menyarankan untuk USG dua minggu lagi. Saat saudara-saudara menanyakan hasil USG saya cuma bilang anaknya kemungkinan kembar. Mereka menyambutnya dengan suka cita dan surprise! Saya tidak bilang tentang dua kepala dan satu badan itu. Biar saya dan suami saja yang mengetahuinya. Perasaan galau, sedih, cemas campur aduk jadi satu. Tiada hal lain yang bisa kami lakukan selain berdoa dan berdoa. Pada saat seperti ini, hal paling menentramkan adalah berakrab-akrab dengan Sang Khalik. Memohon dengan sepenuh hati, sujud dengan sedalam-dalamnya sujud. Membaca Al-Qur’an di setiap kesempatan. Saya juga menyiapkan mental bila harus memiliki anak cacat. Saya mengaduk-aduk koleksi majalah langganan yang pernah menyajikan bahasan utama dengan tema bila anak lahir tidak sempurna. Sejak mengetahui hasil USG itu, saya sulit tidur dan tidak nafsu makan hingga berat badan turun satu kilogram. Normalnya, usia kehamilan delapan bulan berat badan terus bertambah.
Setelah dua minggu hidup dengan kecemasan dan ketakutan luar biasa, tibalah saatnya untuk USG lagi. Hasilnya? Janin tunggal, semuanya normal. Namun jenis kelamin tidak tampak. Kelegaan dan puji syukur yang tiada terkira. Akhirnya anak ketiga lahir sempurna dengan jenis kelamin perempuan.
Denpasar, 21 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar