Jumat, 24 Desember 2010

WORK AROUND THE CLOCK

WORK AROUND THE CLOCK!

Pernahkah terlintas untuk mencatat jadual kegiatan seorang ibu rumah tangga mulai bangun tidur hingga bangun lagi esok hari? Setelah 3,5 tahun saya berumah tangga, kami baru mengangkat asisten untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Yaitu saat anak pertama lahir sementara saya sedang menyelesaikan thesis. Jadi selama 3,5 tahun itu semua urusan rumah tangga dikerjakan sendiri, kadang-kadang dibantu suami. Saat hamil anak ketiga, kami kembali tidak mempunyai asisten selama beberapa bulan. Inilah kegiatan saya sehari-hari, mungkin juga sebagian besar ibu rumah tangga lainnya.
Begitu membuka mata, hal pertama adalah mengucap doa bangun tidur. Juga bersyukur atas kemurahan Alloh berupa nikmat sehat dan umur hingga detik ini. Sebelum beranjak dari tempat tidur, si ibu memperhatikan putra-putrinya kalau-kalau ada nyamuk yang menggigitnya. Kemudian merapikan selimutnya, membetulkan posisi tidur anak-anaknya, juga mengganti selimut dan celananya yang basah terkena ompol. Beranjak dari tempat tidur, si ibu membawa selimut, popok dan celana bau pesing untuk dibawa ke kamar mandi, juga membawa gelas-gelas kotor ke dapur. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba kepada Khaliqnya, sang ibu siap berjihad sepanjang pagi, siang, sore dan malam hari.
Pertama, membuka jendela, korden dan mematikan lampu luar rumah. Memasak, mencuci alat-alat masak, merapikan dapur, menyiapkan bekal anak ke sekolah, membuat minum untuk suami dan anak-anak dan menyiapkan baju untuk anak-anak. Sambil menunggu air mendidih untuk mandi anak-anak, sang ibu memilah-milah baju untuk dimasukkan ke mesin cuci. Pakaian, selimut juga sarung bantal yang terkena ompol dipisahkan untuk dibersihkan dulu ompolnya dengan air mengalir. Urusan baju untuk sementara selesai, giliran bersih-bersih rumah. Membersihkan meja, kursi, dilanjutkan menyapu dan mengepel.
Urusan rumah selesai, saatnya membangunkan anak-anak. Membangunkan anak-anak tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang sulit sekali dibangunkan. Berbagai jurus harus dikeluarkan. Pertama dengan persuasi, negosiasi dan terakhir sanksi. Hal terberat adalah menaklukkan emosi sendiri agar tidak terpancing untuk marah apalagi membentaknya. Hal yang benar-benar perlu dicamkan dalam pikiran saya adalah bahwa mereka anak-anak, mereka anak-anak, mereka anak-anak. Selama jalan damai bisa dilakukan, mengapa harus dengan kekerasan? Pertama, membangunkan dengan cara standar. Menyampaikan hal-hal yang menyenangkan di sekolah: bertemu teman, bernyanyi, main ayunan, perosotan dan lain-lain. Sambil membujuk, tangan saya membelai rambutnya atau menarik-narik jari kaki dan tangannya, juga menggelitiknya. Bila belum mau bangkit dan malah merengek, kini butuh bernegosiasi. Misalnya, boleh bawa mainan ke kamar mandi, boleh memilih jajan sendiri untuk tambahan bekal ke sekolah. Juga dijelaskan akibat terlambat bangun. Belum mempan juga, saatnya nada suara ditinggikan, belaian dihentikan dan sanksi dikeluarkan. Misalnya, kalau tidak segera bangun dan sampai terlambat ke sekolah, saat akhir pekan tidak diajak jalan-jalan. Dia akan berpikir kalau sampai tidak diajak jalan-jalan, akan kehilangan kesempatan untuk melihat ini itu atau mendapatkan ini itu. Sungguh kelegaan luar biasa saat berhasil ‘menaklukkannya’ dan dia mau menuju kamar mandi.
Acara mandi selesai, giliran memakaikan baju dan ‘mendandaninya’. Setelah keduanya rapi, saya menyuapi mereka biar cepat selesai makannya. Si sulung biasanya berangkat sekolah bareng bapaknya, sekalian berangkat ke kantor. Tetapi kadang-kadang tidak mau diantar sekolah sama bapaknya, jadi saya juga yang mengantar. ‘Berempat’ (saya, dua anak saya dan janin yang masih dalam kandungan) naik sepeda motor ke sekolah yang berjarak sekitar 2 km.
Untuk menghemat energi saya dan BBM (Bahan Bakar Minyak), saya tidak pulang lagi, tetap di sekolah mulai jam 7.30 hingga si sulung pulang jam 10.00. Saat menunggu saya tidak bisa ‘nyantai’ seperti ibu-ibu pengantar lainnya. Mereka asyik ngobrol, sambil sesekali diselingi acara belanja beragam barang yang ditawarkan pedagang keliling, juga dari kalangan ibu-ibu sendiri yang membawa barang dagangan. Mulai baju, tupper ware, aneka kue & cake hingga berlian. Mereka juga membentuk kelompok arisan. Selama 2,5 jam menunggu itu saya berjibaku dengan anak nomer dua yang sedang gesit-gesitnya (usia dua tahun). Di halaman sekolah banyak mainan, dan semua ingin dicobanya. Dia harus didampingi untuk main perosotan, ayunan, jungkat-jungkit, memanjat tambang, masuk terowongan dan lain-lain. Lelah mengikuti langkahnya, dia saya ajak duduk membaca buku cerita yang disiapkan dari rumah sambil minum dan makan biskuit kesukaannya. Dalam kondisi hamil tujuh bulan, kegiatan ini amat melelahkan. Hanya rasa cinta yang begitu besar yang membuat kita kuat menjalaninya. Benar kata Socrates (filsuf Yunani), bahwa hanya cinta yang membuat orang berani mati. Ya, rasa cinta seorang ibu pada anaknya yang membuat ia kuat dan tegar dalam kondisi apa pun, bahkan rela melakukan apa saja demi kebaikan anaknya.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, waktunya menyiapkan energi ekstra untuk berdiplomasi saat anak-anak minta dibelikan jajan atau mainan. Permintaan mereka tidak selalu saya turuti, biar mereka tidak manja dan belajar bahwa dalam hidup ini segala sesuatu tidak mudah diraih. Dan setiap keinginan tidak selalu menjadi kenyataan dalam sekejap, semua butuh proses dan usaha untuk meraihnya. Ini juga mengajarkan agar mereka tidak mudah putus asa atau frustasi bila gagal mendapatkan yang diinginkan. Pada saatnya nanti biar mereka memahami bahwa gagal dan berhasil, kalah dan menang, sedih dan gembira, puas dan kecewa adalah warna-warni hidup yang harus dihadapi dengan sikap terbaik sesuai tuntunan Alloh dan Rasulnya. Saat berhasil tidak menepuk dada, saat gagal tidak berputus asa.
Sesampai di rumah, mengganti baju sekolah dengan baju untuk bermain. Mengantar mereka ke kamar mandi untuk pipis, cuci tangan, cuci kaki dan cuci muka biar bersih dan segar. Setelah keduanya nyaman, saya membuka tas sekolah dan membongkar bekalnya. Biasanya bekal makanan ke sekolah tidak habis dan dilanjutkan dimakan di rumah bersama sang adik. Sebagai makanan tambahan, sepulang sekolah mereka juga minum susu dan biskuit, selain ‘sisa’ bekal sekolah tadi.
Saya bisa rileks sebentar saat menemaninya bermain sambil belajar hingga tiba waktu makan siang. Saat mendampinginya bermain saya bisa membaca koran meski kadang cuma bisa membaca judul beritanya saja. Anak-anak nimbrung ‘ikut membaca’ koran. Biasanya minta diceritai tentang gambar yang dia lihat, khususnya karikatur. Mereka antusias bertanya tentang maksud gambar itu. Perlu improvisasi saat yang dia liat adalah ilustrasi dari rubrik konsultasi kesehatan yang sedang saya baca. Tidak mungkin saya menjelaskan sesuai dengan maksud gambar itu sebenarnya. Anak-anak juga tertarik dengan judul-judul berita yang besar. Dari sini, mereka mulai mengenal huruf dan belajar membaca. Alhamdulilah, sekali mendayung tiga pulau terjelajahi. Saya bisa mengupdate isu-isu yang berkembang, anak-anak belajar membaca dan kedekatan fisik dan emosional antara ibu dan anak tercipta. Namun acara bermain sambil belajar ini sering diwarnai keributan-keributan kecil. Masing-masing mungkin mencari perhatian lebih dari ibunya. Si sulung menunjuk sebuah judul berita, minta dibacakan. Sang adik menunjuk judul berita yang lain yang minta dibacakan lebih dulu. Sang kakak tidak mau mengalah. Ada saja yang menjadi sumber keributan di antara anak-anak. Setelah saya membaca sebuah artikel psikologi di sebuah majalah, ternyata ini disebut sibling rivalry. Yaitu permusuhan dan kecemburuan antara saudara kandung. Ini biasa terjadi dalam satu keluarga yang memiliki lebih dari satu anak. Meski demikian, anak-anak tetap harus diberi pengertian dan aturan-aturan untuk meminimalisir pertengkaran.
Saat tiba waktu makan siang, saya menyuapi anak nomer dua. Sementara si sulung belajar makan sendiri. Setelah itu sholat dhuhur berjamaah, kemudian mengeloninya untuk tidur siang. Sementara anak-anak tidur, banyak pekerjaan yang harus ditangani. Mengangkat jemuran, memilah-milah baju yang perlu disetrika dan baju mana yang cukup dilipat saja. Setelah rapi, saya menatanya ke ‘alamat’ masing-masing. Saya tidak menyeterika tiap hari, cukup seminggu tiga kali. Urusan baju selesai, giliran masak untuk makan malam. Saat anak-anak tidur, pekerjaan rumah harus dikerjakan dengan maximum speed alias secepat mungkin biar banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan. Harus dibuat skala prioritas, mana pekerjaan yang bisa dikerjakan sambil momong dan mana yang tidak. Saat anak tidur, saya kerjakan dulu pekerjaan yang tidak bisa disambi momong, seperti masak dan setrika. Beres-beres rumah masih bisa disambi, jadi dikerjakan belakangan. Bila anak-anak belum bangun, dilanjutkan dengan menyapu, mengepel dan menyiram bunga.
Begitu anak-anak bangun sekitar jam 16.00, stop kegiatan beres-beres. Saatnya menyambut anak-anak dengan membacakan doa bangun tidur, mengusap rambutnya, memeluknya dan mengucapkan “Ibu sayang mbak, Ibu sayang adik”. Anak-anak akan terbiasa mengungkapkan perasaannya bila kita biasa mengucapkannya. Dari mana anak-anak tahu cara mengekpresikan perasaanya bila tidak ada contoh lebih dulu dari kita? Saya selalu terharu luar biasa bila anak-anak bangun tidur lebih awal dan tiba-tiba ada di belakang saya yang sedang seterika sambil mengucapkan “Mbak sayang ibu.” Si kecil tidak mau kalah, juga mengucapkan: “Adik sayang ibu.” Hanya tiga kata, namun punya efek dahsyat bagi saya. Rasa lelah sepanjang pagi, siang dan sore sontak hilang. Berganti semangat dan semangat. Tiga kata itu bagai suplemen multivitamin yang ampuh. Tiga kata itu bagai gerimis kala senja yang menyirami bunga-bunga, terasa sejuk dan menenteramkan. Bagai embun pagi yang meluruhkan debu-debu pada dedaunan di taman.
Sambil menunggu air direbus untuk mandi sore, anak-anak boleh melihat film kartun di televisi sejenak, cukup sepuluh menit. Memandikan mereka berdua secara bergantian cukup menguras energi. Acara mandi sambil main air adalah momen mengasyikkan baginya. Sang kakak masih ingin main air, sementara sang adik sudah kebelet mau mandi juga. Hasilnya? Seru! Kembali jurus persuasi dan negosiasi dilancarkan, akhirnya urusan mandi sore beres. Tidak jarang, untuk keluar dari kamar mandi si kecil masih minta gendong. Begitu anak-anak sudah rapi dan wangi, giliran saya yang mandi dengan tetap memonitornya. Untung ada satu kamar mandi yang dekat ruang tamu, tempat anak-anak bermain building block. Sengaja saya pilihkan mainan itu biar masing-masing konsentrasi membuat aneka bentuk sesuai imajinasinya. Mainan ini akhirnya menjadi mainan favoritnya. Dari kamar mandi sesekali saya menengoknya, memastikan mereka berdua baik-baik saja. Bisa dibayangkan, bila dua anak balita main bareng tanpa pendamping, hal-hal tak terduga bisa saja terjadi.
Selesai mandi, waktunya sholat ashar bersama-sama. Meski persiapan sholatnya lebih lama daripada sholatnya, tidaklah mengapa. Yang penting, anak-anak mulai mengenal sholat. Mereka ikut sholat paling lama hanya sampai dua rakaat, setelah itu main-main, tepatnya mengganggu ibunya. Mula-mula, telentang di sajadah saya, berebut naik ke punggung saat sujud, juga memegang jari telunjuk saat duduk takhiyat akhir. Duh! Ada rasa kesal, tapi juga nikmat luar biasa yang sulit terlukis dengan kata. Bila tidak menyadari dunia anak-anak adalah dunia bermain juga dunia eksplorasi, emosilah yang bicara. Meski begitu, selesai sholat mereka tetap diberi pengertian bahwa kalau ibu sholat sebaiknya tidak mengganggu. Anak-anak senang bila diajak melipat mukena, sarung dan sajadah mereka. Sambil diberi pengertian bahwa segala sesuatu akan indah kalau terlihat rapi.
Menjelang jam lima sore adalah waktu makan bagi mereka. Saya menyuapinya di teras sambil melihat ikan berenang di kolam mini di halaman. Mereka lahap makannya bila sambil diajak ngobrol tentang apa saja yang mereka lihat. Sore hari saatnya burung-burung terbang membentuk barisan pulang ke sarangnya. Capung dan kupu-kupu juga ikut meramaikan suasana sore. Di sore yang cerah, langit Denpasar pada bulan Juni – September dihiasi banyak layang-layang indah dengan aneka bentuk. Ada bentuk kupu-kupu, ikan, burung bangau, orang dan lain-lain. Masyarakat Bali memang punya jiwa seni tinggi, layang-layang pun dibuat dengan sentuhan seni yang indah. Beda jauh dengan layang-layang yang pernah saya lihat di kampung saat kecil dulu, sebuah desa di Jawa Timur. Hanya berbentuk segi empat seperti ikan pari, itu saja. Kami saling bercerita di teras hingga suami pulang kerja. Saat suami dating dengan sepeda motornya, anak-anak seperti dikomando langsung teriak bareng, “Bapaaak,” sambil berlarian ke pintu pagar. Mereka seperti tidak sabar menunggu saya membukakan pintu pagar. Saya selalu terharu melihat pertemuan bapak-anak yang seharian tidak bertemu. Setelah bersalaman, kami masuk rumah, sementara di luar matahari menuju peraduannya. Segelas minuman segar saya siapkan untuk suami. Kata orang, rumah adalah pelabuhan. Dunia luar rumah adalah samudra dengan riak gelombangnya tempat para bapak mengais rizqi. Saat kapal berlabuh, sebisa mungkin diusahakan kondisi pelabuhan bersih, rapi dan menyenangkan.
Setelah berhai-hai sebentar, makan camilan dan minum, suami mandi. Setelah itu berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat magrib. Saya dan anak-anak kembali sholat magrib bersama-sama, tetap dengan keriuhan khas anak-anak. Dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an, anak-anak ‘menyimak.’ Ada si adik duduk di pangkuan, si kakak tiduran dengan menyandarkan kepalanya dipaha. Sungguh nikmat tak terkira meniti detik demi detik bersama bibir-bibir mungil dan mata bening itu. Apalagi bila dalam tiap kesempatan bisa menanamkan nilai-nilai ruhiyah pada mereka. Bila anak-anak bersikap manis, kami tidak beranjak dari tempat sholat hingga waktu sholat isya’ tiba. Sambil menunggu sholat isya, anak-anak belajar menghafal surat-surat pendek, seperti Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq dan yang pasti Al-Fatihah.
Selepas sholat isya’, anak-anak membuka-buka buku cerita atau buku kreativitas, sementara saya menata hidangan untuk makan malam. Anak-anak biasanya ikut nimbrung makan bersama bapaknya, minta satu atau dua suap. Sambil makan, suami ‘melepas kangen’ bersama anak-anak. Mereka bertiga makan sambil ngobrol tentang apa saja yang dialami anak-anak hari itu. Saya menyiapkan susu untuk anak-anak juga menyiapkan buah sebagai pencuci mulut. Setelah suami, giliran saya yang makan, dilanjutkan dengan membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan.
Bila waktu telah menunjukkan pukul 20.00, saatnya mengganti baju anak-anak dengan baju tidur. Sebelum itu, mereka ke kamar mandi dulu untuk pipis, cuci tangan, cuci kaki , cuci muka, juga gosok gigi (kalau pas mau). ‘Ritual’ ini pun tidak selalu berjalan mulus. Kadang si sulung tidak mau baju yang sudah disiapkan, dan mengambil sendiri di lemari. Tumpukan baju jadi ‘amburadul.’ Sang adik mengikuti sang kakak, tidak mau memakai baju yang sudah disiapkan, dan mengambil sendiri. Kali ini lebih amburadul lagi. Yang diambil baju di tumpukan paling bawah, akibatnya baju-baju yang diatasnya berhamburan semua. Sedap! So what? Yang paling enak segera mengucap La haula wala quwwata illaa billaah…..
Setelah rapi dengan baju tidurnya, waktunya mengajak ke tempat tidur yang sudah disiapkan ‘kavlingnya.’ Sebelum tidur, seperti kebanyakan keluarga lainnya, anak-anak dibacakan cerita, lebih sering mendongeng hasil improvisasi sendiri. Tema dongengnya sesuai dengan kejadian hari itu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Yang tidak menyenangkan, misalnya mereka berdua bertengkar rebutan mainan atau jajan. Yang menyenangkan, mereka mau berbagi dan rukun saat main bersama. Dari dongeng ini, anak-anak, khususnya sang kakak bisa mengambil teladan dan tanpa saya ungkit kejadian-kejadian pada hari itu, sang kakak sudah ‘merasa’ dengan sendirinya. Tanpa diminta, dia sudah membuat ‘pengakuan dosa.’ Saya tinggal menggarisbawahi saja tentang perilaku yang baik dan tidak, juga akibat dari perilaku itu. Saat mendongeng, kedua tangan saya aktif memijit, menggaruk-nggaruk dan mencubit-cubit punggungnya dengan pelan, memutar-mutar jarinya dan kadang mereka minta ‘diupil’ hidungnya (maaf). Setelah cukup mendongengnya, saatnya membaca doa sebelum tidur dan beberapa surat Al-Qur’an yang pendek.
Saat mereka sudah terlelap, sebisa mungkin saya sempatkan membaca. Kadang koran pagi baru terbaca malam hari bila anak-anak siang itu ‘suka menyanyi’ (baca: rewel). Saat bagian percetakan koran langganan ini sibuk menyiapkan koran edisi esok hari, koran edisi hari ini baru bisa dinikmati. Kadang-kadang saya bangun lagi untuk menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak esoknya bila siang tadi tidak sempat menyiapkannya, biar besok pagi tidak terlalu repot. Misalnya mengupas bawang merah, bawang putih, memotong sayuran dan lain-lain. Persiapan masak untuk sarapan dan makan siang esok hari juga sering dilakukan saat anak-anak tidur siang. Sekalian sambil menunggu masakan untuk makan malam matang, saya menyiapkan bahan-bahan masakan untuk sarapan dan makan siang esok hari. Bila bahan-bahan masakan esok hari sudah disiapkan, rasanya baru lega dan bisa memejamkan mata tanpa ganjalan. Bila tidak, tidur rasanya tidak tenang, karena ada sesuatu yang belum ditunaikan. Saat mata terpejam pun, pikiran masih aktif merancang kegiatan esok hari.
Beberapa jam terlelap, harus terbangun lagi saat anak-anak ada yang mengigau atau ngompol. Bila ngompol, celana dan baju harus diganti, juga selimutnya yang terkena ompol. Setelah anak ketiga lahir, makin kurang bisa menikmati jam tidur di malam hari. Si bungsu yang masih bayi otomatis lebih sering pipis dan buang air besar di malam hari. Si bungsu harus meminum ASI paling tidak tiap dua jam sekali. Secara bergantian, ketiganya membutuhkan perhatian hingga fajar tiba. Saatnya bangun lagi untuk memulai aktivitas sepanjang pagi, siang, sore dan malam hari. Begitu seterusnya.
Seorang ibu bekerja sepanjang jarum jam berputar. Tidak ada cuti, libur atau jam istirahat. Harus terus siaga kapan saja anak-anak membutuhkan. Saya jadi teringat saat masih bekerja sebagai ‘orang kantoran’ dulu. Untuk ‘gagah-gagahan,’ saya tulis di meja kerja: I’m gonna work around the clock! Padahal saat itu jam kerja hanya delapan jam saja: jam 08.00-17.00, dengan waktu istirahat satu jam. Jadi, ketahuan kan, kalau yang saya tulis itu cuma untuk bergaya! Sepuluh tahun kemudian, apa yang saya tulis itu menjadi kenyataan. Setelah menjadi ibu dari tiga balita saya benar-benar work around the clock!
Betapa membosankan dan melelahkan bila dalam melakukan rutinitas itu tidak didasari motivasi yang benar. Motivasi bahwa segala yang dilakukan tidak akan sia-sia bila semuanya dilakukan dalam konteks ibadah. Untuk mencapai itu, perlu bekal pengetahuan dan pemahaman ajaran agama yang baik. Jadi, tidak akan ada keluh kesah meski harus work around the clock!

Halaman sekolah anakku, sebuah TK Islam di Denpasar
10 April 2008

AYO MENANAM

AYO MENANAM


Sabtu sore saya ke samping rumah. Rasa gembira dan syukur tak terkira saat memetik oyong (gambas-Jawa) yang panjangnya sekitar 50 cm. Oyong itu menggelantung hampir menyentuh tanah. Ini oyong pertama yang kami panen. Suami yang menanamnya sekitar tiga bulan lalu. Selain oyong, ada cabe, terong, melon dan lain-lain. Hampir tiap hari anak-anak menengoknya. Mereka jadi ‘pengamat’ tanaman-tanaman itu dan tentu saja bertanya segala hal tentang tanaman-tanaman itu. Anak-anak melihat mulai benihnya disemai, berbunga, pentil hingga bisa dipetik. Akhirnya tibalah saat menikmatinya. Agar bisa menikmati oyong itu lebih lama, oyong itu dimasak separuh saja. Dicampur bayam, jadi sayur bening. Esoknya dibikin sup dengan bakso dan soun. Anak-anak suka sekali, padahal sebelumnya sulit makan sayur. Kami sekeluarga gembira dan puas menikmati sebuah oyong itu. Sebuah oyong bisa memunculkan kepuasan batin dan kegembiraan sedemikian rupa. Apalagi bila cabe, terong, tomat, melon, pepaya, jeruk dan pisang itu tiba waktu memetiknya. Suami juga bahagia hasil jerih payahnya bisa menyenangkan kami sekeluarga.
Selain sebuah oyong yang baru dipetik, masih ada berpuluh-puluh oyong yang seminggu lagi siap panen. Sudah terbayang oyong-oyong itu nanti untuk dibagi ke tetangga dan teman. Juga terbayang uang sekian ribu rupiah bisa dihemat.
Sebelumnya saya terkesan dengan berita di harian nasional yang memuat Menteri Pertanian Bapak Anton Apriantono yang rajin menanam buah dan sayur di rumahnya. Saya terinspirasi sehingga lebih giat menanam. Sekarang tidak ada lahan yang kosong. Tanaman-tanaman juga memenuhi aneka pot di halaman. Pot yang kami maksud adalah kaleng bekas, potongan pipa paralon, ember plastik dan lain-lain. Kayu dan papan bekas juga kami buat pot. Banyak manfaat yang bisa diambil dari kegiatan bercocok tanam ini.
Pertama, bisa mengurangi pengeluaran uang belanja. Kedua, mempererat silaturrahim. Hasil kebun bisa dibagikan ke tetangga. Apalagi di tempat tinggal kami lingkungannya heterogen, multi etnis dan multi agama. Pemberian hasil kebun ini bisa memunculkan hubungan baik dengan umat lain. Sabda Rasulullah: hadiah itu mengeratkan silaturrahim. Ketiga, memberi pengetahuan pada anak-anak tentang buah dan sayur. Anak-anak selama ini hanya tahu buahnya saja, tidak tahu pohonnya seperti apa. Juga menanamkan kecintaan pada lingkungan dengan mengajaknya terlibat merawat tanaman. Point terpenting bagi saya adalah mengajari mereka bersabar dan memahami sebuah proses. Mulai benih disemai hingga buah dipetik adalah sebuah proses, dan untuk semua itu butuh waktu. Keempat, menciptakan lingkungan yang sehat. Tanaman-tanaman ini bisa mengurangi polusi dan menambah hijau lingkungan sekitar. Makin banyak tanaman, makin banyak oksigen yang tersedia sehingga udara makin segar. Bercocok tanam adalah salah satu jawaban akan dampak pemanasan global.
Kegiatan bercocok tanam makin relevan bila dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang dirasa makin berat bagi sebagian besar rakyat Indonesia akibat kenaikan BBM pada 24 Mei lalu. Kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) adalah masalah bagi kita. Tiap masalah memerlukan solusi. Solusi nyata adalah dengan berbuat nyata. It’s better light a candle than condemn the dark. Daripada hanya mengutuk pemerintah dan berkeluh kesah menghadapi kenaikan harga-harga, lebih baik berbuat nyata. Ayo menanam!
Denpasar, 24 Juni 2008

USG Bikin Sengsara

USG BIKIN SENGSARA

Saya mengenal kata USG (ultrasonografi) sejak awal 1990-an. Namun pertama kali memanfaatkan teknologi ini baru pada 2003. Saat hamil anak pertama, sejak usia kehamilan lima bulan saya dan suami sebenarnya ingin melakukan USG untuk mengetahui jenis kelaminnya. Tetapi dokter menyarankan sebaiknya USG dilakukan saat usia kehamilan delapan bulan. Kami sudah tidak sabar. Maklum, menjelang tiga tahun pernikahan kami saya baru hamil.
Usia kehamilan tujuh bulan saya mengalami kontraksi karena terlalu semangat jalan pagi. Dokter menyarankan untuk USG ke laboratorium klinik yang alatnya lebih canggih dan layar monitornya lebih lebar. Sebenarnya setiap periksa juga di USG, namun monitornya kecil. Kami juga ingin mengetahui jenis kelmain sang janin. Sayang, jenis kelmainnya tidak terlihat. Tidak menyerah, usia kehamilan delapan bulan saya minta USG lagi. Namun hasilnya sama: tidak terlihat jenis kelaminnya. Akhirnya, untuk perlengkapan bayi kami memilih warna kuning dan hijau. Sebelumnya kami membayangka akan membeli perlengkapan bayi warna pink atau biru. Ternyata anak pertama kami perempuan.
Sejujurnya, saya kurang semangat melakukan USG pada kehamilan kedua. Khawatir tidak terlihat lagi, kan sayang uangnya. Namun karena alasan ‘keadilan’, biar nanti sama-sama punya foto saat masih dalam kandungan, akhirnya kami minta di USG. Saat kehamilan anak kedua, kami juga melakukan USG dua kali. Hasilnya sama: tidak tampak jenis kelaminnya. Kami juga memilih warna hijau kuning untuk perlengkapan bayi. Setelah lahir, anak kedua kami laki-laki.
Kehamilan anak ketiga saya tetap melakukan USG dengan alasan sama: demi keadilan. Namun hasil USG kali ini sungguh mengagetkan. Menurut dokter radiologi, anak ketiga kami kembar dua. Yang menyedihkan, dari beberapa foto USG disebutkan bahwa ada dua kepala dan satu badan. Betapa kaget dan sedihnya saya waktu itu. Hasil USG saya bawa ke dokter kandungan, beliau juga tampak kaget dan berusaha menenangkan saya. Beliau menyarankan untuk USG dua minggu lagi. Saat saudara-saudara menanyakan hasil USG saya cuma bilang anaknya kemungkinan kembar. Mereka menyambutnya dengan suka cita dan surprise! Saya tidak bilang tentang dua kepala dan satu badan itu. Biar saya dan suami saja yang mengetahuinya. Perasaan galau, sedih, cemas campur aduk jadi satu. Tiada hal lain yang bisa kami lakukan selain berdoa dan berdoa. Pada saat seperti ini, hal paling menentramkan adalah berakrab-akrab dengan Sang Khalik. Memohon dengan sepenuh hati, sujud dengan sedalam-dalamnya sujud. Membaca Al-Qur’an di setiap kesempatan. Saya juga menyiapkan mental bila harus memiliki anak cacat. Saya mengaduk-aduk koleksi majalah langganan yang pernah menyajikan bahasan utama dengan tema bila anak lahir tidak sempurna. Sejak mengetahui hasil USG itu, saya sulit tidur dan tidak nafsu makan hingga berat badan turun satu kilogram. Normalnya, usia kehamilan delapan bulan berat badan terus bertambah.
Setelah dua minggu hidup dengan kecemasan dan ketakutan luar biasa, tibalah saatnya untuk USG lagi. Hasilnya? Janin tunggal, semuanya normal. Namun jenis kelamin tidak tampak. Kelegaan dan puji syukur yang tiada terkira. Akhirnya anak ketiga lahir sempurna dengan jenis kelamin perempuan.
Denpasar, 21 Maret 2008

Ritual Menjelang Tidur

RITUAL MENJELANG TIDUR

Menjelang anak-anak tidur di malam hari adalah saat yang menyenangkan sekaligus melelahkan bagi saya. Sebagai ibu dari tiga balita cukup repot menidurkan mereka bertiga secara bersamaan. Saya harus mengeloni mereka sendirian karena suami sering dinas keluar kota. Bahkan pernah tinggal berjauhan selama hampir satu tahun. Hanya seminggu sekali anak-anak bertemu bapaknya.
Di kamar tidur, anak-anak biasa menceritakan apa saja yang dialaminya sepanjang hari itu. Si sulung yang sekolah di TK A menceritakan kegiatannya di sekolah, juga kalau ada teman yang mengganggunya. Padahal sepulang sekolah saat ditanya tentang kegiatannya di sekolah, dia bilang tidak tahu. Anak nomer dua (dua tahun) senang bercerita tentang binatang yang dia lihat di sekitar rumah, di jalan saat ikut menjemput sang kakak atau di acara TV. Kami tinggal di pinggiran kota Denpasar, jadi banyak anjing dan babi berkeliaran di jalan, juga sapi yang dibiarkan lepas di lapangan dekat rumah. Bahkan sering muncul biawak yang merambat di atas pagar pembatas di samping rumah. Maklum, rumah kami berbatasan dengan tanah kosong yang rimbun.
Setelah puas bercerita, mereka ganti meminta saya untuk mendongeng. Sambil mendongeng, kedua tangan saya sibuk memenuhi permintaan si sulung dan si tengah, anak nomer dua. Si sulung biasanya minta punggungnya di cubit-cubit, jari-jari tangan dan kakinya ditarik-tarik. Si tengah seneng kalau daun telinganya ditarik-tarik, juga keduapuluh jarinya diputar-putar dan ditarik-tarik. Tidak hanya itu, mereka juga kadang minta ‘diupilkan’ hidungnya, juga dibersihkan telinganya. Padahal, tiap hari minggu telinganya sudah rutin dibersihkan. Soal upil (maaf) ini, sering memicu keributan di antara keduanya, bila salah satu ada yang upilnya lebih besar. Yang upilnya besar bangga, sementara yang lain iri. Duh! Perlu energi ekstra untuk jadi mediator agar keduanya kembali tenang. Bila sedang ribut, sering saya berharap ada lolongan anjing yang keras biar anak-anak segera diam dengan sendirinya. Di Denpasar gonggongan anjing terdengar setiap saat, dan pada malam hari gonggongannya terdengar keras. Bila anak-anak sudah minta ‘diterapi’ ini itu, berarti mereka sudah mengantuk dan hampir terlelap. Sebagai penutup ‘ritual’ menjelang tidur adalah membelai rambutnya sambil membaca doa sebelum tidur juga beberapa surat Al-Qur’an yang pendek
Saat anak-anak menjelang tidur seorang ibu mungkin menjadi orang paling sibuk. Saya sering melakukan empat kegiatan sekaligus: membelai si sulung, memijit si tengah, menyusui si bungsu dan mendongeng. Bagaimana bisa? Saya berbaring miring ke kanan untuk menyusui, tangan kanan membelai atau memijit si sulung yang tidur di samping kanan si bungsu. Tangan kiri memijit atau menarik-narik jari kaki si tengah yang kakinya ditaruh di pinggang saya. Si tengah tidur di belakang saya. Si tengah mau mengerti bila adiknya minum, jadi dia ‘nrimo’ kalau harus dibelakangi. Bila si bungsu tidak sedang minum ASI, saya tidur telentang dengan merentangkan kedua tangan untuk merengkuh mereka. Bagai burung yang membentangkan sayapnya. Dari sini saya baru menyadari kenapa ada yayasan dengan nama “Sayap Ibu.” Seorang ibu dengan kedua tangannya dan segenap jiwa raganya akan melindungi anak-anaknya bagai sayap burung yang membentang. Ini penafsiran saya, para pendiri yayasan tentu punya alasan yang lebih tepat mengapa di sebut sayap ibu.
Saat menjelang tidur sering menuntut saya untuk berperang melawan emosi, dan harus kuat untuk menaklukkan sang emosi. Sebab momen menjelang tidur pun masih sering menjadi ajang keributan antara si sulung dan si tengah. Misalnya si sulung minta dongeng tentang gajah, si tengah minta dongeng kucing. Diajak bergantian tidak mau, masing-masing minta didongengi kisah favoritnya lebih dulu. Bila sudah begini, harus ada dongeng alternatif, biar masing-masing tidak ngotot dengan keinginannya. Selain dongeng, posisi tidur juga menjadi sumber keriuhan, masing-masing minta tidur di sebelah si bungsu. Biar tidak jadi korban dan demi alasan keadilan, akhirnya si bungsu saya pangku.
Setelah ritual menjelang tidur terlewati dan mereka semua tidur, tiada hal lain yang bisa dilakukan selain mengucap alhamdulillah. Kelegaan luar biasa setelah melakukan persuasi sambil menahan emosi untuk mengakomodasi kepentingan ketiga balita seorang diri. Sambil memandangi ketiganya, terucap doa untuk kebaikannya di dunia dan akhirat.
Kamar Tidur Depan, Denpasar
31 Maret 2008

kurir ASI

KURIR ASI

Kampanye pemberian Air Susus Ibu (ASI) bagi si buah hati makin gencar. Ini berarti makin banyak kalangan yang peduli dengan manfaat ASI bagi tumbuh kembang anak. Sejak anak pertama saya memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan terus memberikan ASI hingga anak berusia dua tahun. Dalam kondisi hamil pun saya tetap memberikan ASI, jarak kelahiran putra putri kami dua tahun dua bulan. Saat hamil tujuh bulan saya masih memberi ASI untuk sang kakak yang tepat berusia dua tahun. Saya istirahat menyusui selama dua bulan, kemudian sang adik lahir dan aktif memberi ASI lagi. Demikian terus hingga lahir anak ketiga.
Saat anak ketiga berusia tiga bulan, si sulung (4 tahun 8 bulan) sakit tipus dan harus opname. Si sulung ini tidak mau ditunggui siapa pun selain ibunya. Tidak mungkin mengajak si bungsu di rumah sakit (RS) demi kelancaran pemberian ASI, takut tertular penyakit. Akhirnya anak kedua dan ketiga dititipkan di rumah kakak saya di sertai si mbak yang biasa membantu pekerjaan di rumah. Suami kebagian mondar-mandir antara rumah sakit, rumah kakak dan rumah kami sendiri. Suami juga yang mengurus anak nomer dua, 2,5 tahun (si tengah). Selama saya di RS, si tengah ini tidak mau sama siapa pun selain bapaknya. Mulai mandi, pakai baju, makan , main hingga ngeloni saat mau tidur. Suami baru bisa ke rumah sakit bila si tengah tidur. Betapa repotnya kami saat itu, memiliki tiga balita dan ada yang harus dirawat di RS.
Di rumah sakit kegiatan saya hanya mengurus si sulung dan memompa ASI. Bahan bacaan yang saya bawa tidak tersentuh. Ini pertama kalinya dia masuk RS, wajar setiap ada yang datang dia ketakuan, jadi saya harus selalu di dekatnya. Saat dia tidur saya baru bisa leluasa memompa ASI. Kalau dia sedang melek dan tidak ada yang datang, dia bisa ngerti kalau saya memompa ASI untuk adik. Urusan memompa ASI ini sepertinya dikejar deadline. Apalagi bila sudah di SMS: ASI mau habis. Selama di rumah sakit saya tidak leluasa memompa ASI. Maklum, di rumah sakit tak terhitung berapa kali orang yang mengunjungi kamar kami. Mulai dokter, perawat, terapis, petugas kebersihan, penyaji makanan, juga para pembezuk. Saat mereka otomatis saya harus menghentikan kegiatan memompa ASI. Saat pengambil ASI datang, sering ASI yang terkumpul baru 60 cc. Ya ASI sejumlah itulah yang harus dibawa pulang. Akibatnya, tak lama kemudian harus ada yang ngambil ASI lagi.
Karena suami harus sama si tengah, maka yang kebagian mengambil ASI adalah keponakan saya yang laki-laki, kelas satu SMU. Pagi, siang, sore juga malam hari dia ‘berdinas’ untuk mengantar botol kosong dan mengambil ASI. Saking seringnya ke RS, pada hari kedua putri kami opname, petugas parkir tidak lagi menanyakan STNK. Saya salut dengan kesungguhannya menjalankan tugasnya. Hujan deras pun dia tembus demi sebotol ASI. Ya, sebotol ASI adalah penyambung kehidupan bagi si bungsu. Belakangan saya baru tahu, kalau semangat empat limanya itu tidak lepas dari fulus. Rupanya, suami saya sudah memberikan ‘upeti’ untuk keponakan saya ini sebagai imbalan atas jasanya.
Saat mengambil ASI, dia saya goda. Tugasnya menjadi pengantar botol dan pengambil ASI bisa ditulis di daftar riwayat hidupnya kelak, yakni: kurir ASI. Keponakan saya yang ABG (anak baru gede) ini hanya mesam-mesem menanggapi candaan saya. Kurir ASI, profesi langka yang mungkin belum pernah ada secara komersial. Melihat dinamika kehidupan kota besar semacam Jakarta dan seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya ASI, tidak menutup kemungkinan akan ada orang yang menggeluti profesi sebagai kurir ASI. Teras rumah, Kamis, 27 Maret 2008

Kamis, 16 September 2010

ROMANTIKA BER- PRT

ROMANTIKA PUNYA PRT

Sambil menyusui anak ketiga, iseng-iseng saya menghitung pembantu rumah tangga (PRT) atau mbak-mbak yang pernah bekerja di keluarga kami. Ternyata ada sebelas orang dalam rentang waktu empat tahun. Bermacam karakter, kebiasaan dan perilaku mereka menjadi romantika dan tantangan tersendiri bagi kami. Ada yang super sensitif, super cuek (ndableg, Jawa), pemalas, pintar cari muka, lihai bersilat lidah, tidak jujur dan jorok. Bahkan ada yang agak error alias menclek kata orang Surabaya.
Kami bilang agak error karena si mbak yang usianya hampir 30 tahun ini (sebut saja Wati) ndablegnya bukan main, semau gue, suka ngomong sendiri, doyan tidur dan joroknya masya Alloh. Satu lagi: telmi (telat mikir) berat! Kamar tidurnya semrawut, baju kotor dan baju bersih campur jadi satu. Baju kotornya juga sering berceceran di kamar mandi. Habis makan piringnya juga tergeletak di sembarang tempat—mulai teras hingga kebun di samping rumah. Karena sudah lelah ngomongi saya langsung memungutnya dan membawanya ke dapur. Ada lagi yang bikin ‘gemes.’ Seperti biasa, sehabis sholat isya saya ajak ketiga balita saya masuk kamar. Tanpa ketok pintu (padahal pintu tertutup rapat), Wati langsung masuk kamar, ikut nimbrung dan pengen ngadem katanya. Di kamar ada AC, sementara di ruang tengah hanya ada kipas angin. Wati jarang mau tidur di kamarnya, sering tidur di depan televisi di ruang tengah. Pertama kali dia masuk kamar tidur begitu saja, saya kaget berat dan cuma bisa diam. Besoknya di ulang lagi. Akhirnya saya kasih tahu kalau itu tidak sopan, anak-anak juga terganggu kalau mau tidur ada orang lain. Saat mau tidur adalah prime time bagi saya untuk menjalin kedekatan dan menanamkan budi pekerti melalui dongeng. Pada momen ini juga saya mengajari doa sehari-hari dan menghafal surat-surat Al-Qur’an yang pendek. Wati kerjanya lama banget sebab diselingi melamun, ngomong sendiri dan sambil mendengarkan radio. Kalau menyapu radionya sering ditenteng. Pernah sebelum jam 6 pagi dia menyapu di halaman depan yang tidak luas. Sampai jam 7 dia tidak tampak. Setelah dicari-cari, ternyata dia nongkrong di pos kamling dekat rumah. Duh! Masih banyak kejadian ‘menggemaskan’ yang dilakukan Wati.
Ada juga mbak yang super sensitif. Kalau pekerjaanya kurang beres dan saya kasih tahu, si mbak langsung cemberut berhari-hari, diajak ngomong juga cuek. Ada juga yang ‘unik’, cuma bertahan sehari semalam karena keberatan kalau disuruh sholat. Padahal dia dari Kota Santri, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Timur. Malah ada mbak yang kalau dimintai tolong sepertinya tidak mau. Si mbak ini melengos bila disuruh melakukan suatu pekerjaan, misalnya menguras bak mandi. Jangankan menjawab ‘ya’, melihat saya pun tidak. Kalau sudah begini, tiada hal yang indah selain mengingat bahwa Alloh bersama orang-orang yang sabar.
Dalam hal ini saya senasib dengan tokoh cerpen yang berjudul Pilah Pilih yang dimuat Ummi beberapa tahun lalu. Sama-sama pusing menghadapi PRT yang tidak sesuai harapan. Alangkah sulit mencari PRT yang cocok. Sepupu saya berseloroh: sekarang mencari PRT yang cocok lebih sulit daripada mencari jodoh. Nah lho!

Wininatin Khamimah
kamar depan, SURABAYA

serba canggung

SERBA CANGGUNG
Tokoh di cerbung Cincin benar-benar seperti gambaran diri saya, it’s so me (bahasa gaulnya gue banget gitu lho). Kegundahannya adalah kegundahan saya, kecanggungannya juga kecanggungan saya. Saya seperti tersindir, lalu merasa nelangsa dan bertekad saya harus berbuat sesuatu.
Sejak berhenti bekerja karena mengikuti tugas suami ke daerah, praktis saya jadi ibu rumah tangga, yang hampir 24 jam di rumah. Minggu-minggu pertama saya menikmati betul jadi orang ‘rumahan.’ Segala urusan rumah tangga saya kerjakan sendiri, mulai menguras bak mandi hingga bayar listrik. Satu bulan berlalu sudah. Bulan berikutnya kejenuhan, rasa minder, nelangsa dan menyesal karena ilmu tidak dipraktekkan mulai melanda. Rasa minder mungkin juga rasa iri saat ada teman kuliah dulu muncul di TV atau koran., juga saat melihat orang-orang yang sukses di bidangnya yang seusia dengan saya, bahkan ada yang jauh lebih muda dari saya. Melihat itu semua, benar-benar I’m no one, I’m nothing.
Belum lagi dari segi finansial, biasanya punya gaji sendiri, tetapi sekarang sepenuhnya tergantung pada suami. Karena tidak punya penghasilan sendiri, mau menyisihkan uang belanja untuk membeli buku saya merasa sungkan. Dari situ saya melamar menjadi dosen di beberapa universitas, tetapi tak satu pun yang merespon. Maklum meski ada pengalaman mengajar di sebuah STIE di Jakarta, ijazah saya cuma S1. Pada saat itu mulai berlaku untuk menjadi dosen harus lulusan minimal S2. Untuk bisnis pun, bingung harus bisnis apa, pangsa pasarnya siapa, modalnya dari mana dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sulit dijawab. Semuanya serba canggung.
Di tengah kondisi yang melelahkan batin ini, untunglah ada stasiun TV lokal yang mau mengudara. Sejak bertahun-tahun lalu saya punya rancangan acara kuis di TV. Alhamdulilah, proposal acara kuis disetujui, beberapa bulan kemudian ditayangkan. Karena satu dan lain hal, kerja sama ini berakhir lebih awal. Duh! Profesi pengacara (pengangguran banyak acara) kembali saya jalani. Perasaan minder, bingung harus berbuat apa dan tak berdaya terus berlangsung hingga kelahiran anak ketiga. Hingga saat saya membacakan majalah anak-anak untuk si sulung, saya menemukan halaman yang memuat surat An Najm (78) ayat 39. Dalam ayat ini Alloh SWT berfirman: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Ayat ini seperti membangunkan saya dari tidur panjang dan memaksa saya keluar dari comfort zone yang saya nikmati selama ini dengan dalih demi anak-anak. Mestinya saya bisa terus berkarya tanpa harus meninggalkan anak-anak. Yah, akar masalahnya karena saya kurang kemauan, kurang ulet dan kurang motivasi dalam mengejar mimpi-mimpi saya.
Alhamdulilah, dari satu ayat Al-Qur’an itu saya terpacu untuk terus menggali potensi diri, antara lain menulis, menerjemah dan mengedit buku. Oh Alloh, saya malu. Kenapa dari dulu tidak mau berakrab-akrab dengan firman-firman sucimu yang di dalamnya banyak mutiara-mutiara hikmah untuk kemaslahatan hamba-Mu. Akhirnya, pepatah Arab yang popular benar-benar saya rasakan: Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh dia yang mendapat. Sungguh!

Wininatin Khamimah
Kamar belakang, rumah surabaya